Home » » Cerita Dewasa Ketika Paman Pergi

Cerita Dewasa Ketika Paman Pergi

Dewasa Ketika Paman Pergi - Aku dibesarkan di sebuah desa yang boleh dibilang tidak begitu ramai. Akan tetapi karena nenek memiliki anak yang lumayan banyak, sehingga keadaan di rumah kami sedikit berbeda dengan tetangga yang lain. Aku sendiri sebenarnya hanya anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku perempuan, terpaut beda sekitar lima tahun denganku.

Keadaan keluargaku sedikit kurang beruntung dibanding saudara-saudara ibu yang lain, ayahku hanya seorang pekerja serabutan, sedang ibuku sesekali menjadi tukang cuci. Oleh sebab itu, sejak kecil kami telah banyak ditolong oleh saudara-saudara ibu yang lain. Kakakku sendiri sejak kecil sudah tinggal bersama kakak perempuan ibuku yang paling besar. Meski saudara-saudara ibu sudah mempunyai rumah sendiri, tetapi jarak yang tak begitu jauh, menjadikan anak-anak mereka lebih sering tinggal di rumah nenek.Aku sendiri tinggal bersama nenek.

Diantara semua cucu nenek, aku termasuk anak yang sedikit kurang pintar, atau dengan kata lain: bodoh dan polos. Sehari-hari, sudah menjadi makananku, jika aku menjadi bahan ledekan atau jahilan dari saudara-saudaraku. Meski begitu, aku tidak pernah merasa sakit hati. Diantara semua saudara ibu, aku paling dekat dengan pamanku, adik ibu paling kecil. Beliau merupakan paman yang baik. Sebenarnya paman menyayangi semua keponakan, tapi perasaanku mengatakan, aku jauh lebih disukai dibanding anak-anak lain.

Ketika Paman Pergi Terbukti jika paman memberi uang, aku selalu mendapat lebih.Pernah suatu kali, aku tidak naik kelas. Ketika semua mencemooh, pamanlah yang berusaha menenangkan hatiku. Kata paman, tidak semua orang pintar di pelajaran. Mungkin unggul di hal lain, seperti aku, kata paman. Sifatku lebih baik dibanding keponakan lain. Aku orangnya jujur, begitu kata paman. Itu lebih penting dibanding pintar tapi gak baik.

Paman sendiri bekerja di luar kota, biasanya sabtu minggu baru pulang. Saat usiaku 9 tahun, paman akhirnya menikah, dengan seorang wanita yang usianya 8 tahun lebih muda dari paman. Saat menikah, paman sudah berusia sekitar 34 tahun. Dan ternyata, paman menikahi seorang wanita yang baik juga di mataku. Menurutku paman sangat beruntung.

Awalnya, satu tahun pertama pernikahan, mereka tinggal bersama kami, di rumah nenek. Tapi kemudian mereka pindah, walaupun rumahnya tidak begitu jauh, hanya 15 menit jika menggunakan sepeda dari rumah nenek. Menjelang tahun ketiga pernikahan mereka, pekerjaan paman mengharuskan paman sering berkeliling ke kota-kota besar, hingga kadang baru dua minggu bahkan sebulan, paman baru pulang.

Entahlah, karena mungkin ketidakhadiran momongan yang tak kunjung datang, membuat mereka jauh lebih memperhatikanku. Bahkan secara terus terang, paman bilang ke ibuku: untuk biaya sekolah, orang tuaku tak perlu kuatir. Memang, sejak menginjakkan kaki di bangku sekolah, pamanlah yang banyak membantuku. Hingga akhirnya, permintaan paman untuk menemani bibi jika dia tidak ada, tidak bisa aku tolak. Begitu juga dengan kedua orang tuaku, mereka malah kelihatan jauh lebih bahagia dibanding aku.

Lama-kelamaan, hubunganku dengan bibiku makin terjalin erat. Bahkan akhirnya sejak masuk SMP, aku memutuskan untuk tinggal dengan mereka sepenuhnya. Tak jarang, bibi selalu tertawa melihat tingkahku, atau mungkin kebodohanku. Dari aku juga, bibi kadang sering berusaha mengorek masa lalu paman, terutama mengenai gadis-gadis di kampung yang pernah dekat dengan paman. Jika keponakan lain kebanyakan berusaha memberi kesan bagus untuk paman, aku sendiri bicara apa adanya, karena paman yang menyuruhku.

“Gak apa-apa, bilang aja semuanya, toh masa lalu sudah lama berlalu.” katanya waktu itu.

Ya, sebenarnya pamanku termasuk orang lumayan juga, pacarnya bahkan banyak. Kata ibuku, sejak SMP, paman memang banyak disukai orang, terutama teman-teman wanitanya. Kata ibu, paman sepenarnya tidak pintar, tapi dia sangat rajin. Kepolosanku lah yang mungkin membuat bibi senang juga terhadapku.

Sejak pindah, perhatian bibi kurasa semakin besar. Bukan hanya perhatian sekolah, tapi kasih sayangnya kurasakan besar pula. Tak jarang dia mengusap kepala dan menbelai pundakku jika aku melakukan hal bodoh atau menjadi ledekan orang lain. Mungkin hanya badanku yang besar, tapi perkembangan tingkahku agak telat. Aku malah lebih sering main dengan anak-anak SD dibanding teman sebaya.


0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog