Mas Hadi

Perkenalkan – duh, kenapa ya kalau bikin cerita gini, harus pakai perkenalan. Namaku ODY, umurku baru 22 tahun. Aku kuliah di salah satu universitas swasta di kota Pekanbaru. Selama ini aku tinggal dengan Tanteku. Malang kedua orang tuaku sudah meninggal dunia. Tanteku sendiri seorang janda tanpa anak. Aku sendiri anak tunggal, tidak punya saudara. Hidup berdua dengan Tante membuat aku kenal dengan lingkungan sosial beliau.

Tenteku adalah seorang Nasrani, jadi selama tinggal bersamanya aku jadi mengenal teman-teman segerejanya. Suatu hari Tanteku memperkenalkan salah satu temannya kepadaku. Namanya Mbak Arina, umurnya baru tiga puluh tahun. Dan suaminya, Mas Hadi, tiga puluh lima tahun.

Melihat sosok mereka, aku jadi punya rasa kagum. Mereka adalah sepasang suami istri yang harmonis. Terlihat dari sorot mata mereka yang saling memuja dan mencintai. Pernah sewaktu ikut karya wisata bersama teman-teman gereja Tanteku, aku menjumpai mereka sering bergandengan tangan. Mas Hadi sangat perhatian sekali dengan Mbak Arina.
Karena sering memperhatikan mereka, aku jadi iri kepada Mbak Arina. Hahhahaha. Kenapa aku bisa iri dengan Mbak Arina? Ya, iyalah... karena aku adalah seorang gay. Penyuka sejenis. Aku sudah merasa berbeda sejak SD.

Aku lebih suka bergaul dengan teman-teman cewekku, terlibat perbincangan dengan mereka, dan lama kelamaan aku jadi terbiasa dengan pembicaraan mereka yang selalu membicarakan teman sekelas kami yang ganteng. Kebiasaan ini terus berjalan sampai ke SMA. Di umurku yang beranjak dewasa, aku jadi menyadari kalau aku ini adalah seorang gay.
Menginjak kuliah aku memberanikan diri untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang gay. Dan berteman dengan mereka mengantarkanku ke dunia seksual yang ternyata begitu menggoda dan membuat ketagihan. Pengalamanku tidur dengan sejenis sudah tidak terhitung lagi. Aku sendiri tidak suka menjalin hubungan permanen, karena aku orangnya gampang bosan. Sebagai gay bot, aku ingin menjajal banyak kontol yang merojoki anusku.


Dan belakangan ini, aku tertarik dengan sosok Mas Hadi. Prosi tubuhnya proposional. Tingginya aku tafsir sekitar 175cm, dengan berat badan sekitar 60kg. Kulitnya lumayan gelap dengan rona buah zaitun. Pokoknya sebelas dua belas sama sosok gagah perwira angkatan laut yang gagah-gagah. Selain dari kesempurnaan fisiknya yang bikin aku mengeluarkan air liur, aku juga mengagumi kepribadiannya yang gentlemen.

Entah kenapa, setiap kali melihat bagian belakang tubuhnya, terutama pantatnya yang seksi, pikiranku lantas berubah kotor. Tiba-tiba aku jadi membayangkan tanganku meremas pantatnya itu. Memimpikan bisa bercinta dengan Mas Hadi selalu mengganggu kesadaranku, dan alhasil aku selalu melampiaskannya dengan beronani.


Dan pada suatu hari, mimpiku ini menjadi kenyataan. Semuanya berawal dari kesempatan. Dan menurut pendapat banyak orang, apabila kita mendapatkan kesempatan, kita tidak boleh melewatkannya. Dan pada saat kesempatan itu datang, dengan penuh semangat, meskipun aku sendiri juga deg-degan, aku mengambil kesempatan itu dan memanfaatkannya.

Saat itu menjelang perayaan Natal. Seperti Hari Raya Idul Fitri pada umumnya, perayaan Natal juga diisi dengan berbelanja kebutuhan hari raya. Mengikuti tradisi yang sudah tertanam dalam di maysarakat, aku dan Tante juga berbelanja baju baru untuk hari raya. Aku ingat kalau siang itu hari Kamis. Langit tampak mendung karena bulan Desember adalah musim hujan.

Sejak kemarin Tante sudah memberitahuku kalau dia dan Mbak Arina akan pergi berbelanja di salah satu Mall. Aku semangat sekali karena selain bisa memndapatkan baju baru dari Tante, aku juga bisa bertemu dengan Mas Hadi. Dan ketika pasangan suami istri itu datang ke rumah Tante aku sudah menunggu mereka di ruang tamu.

Mbak Arina kelihatan cantik seperti biasa. Rambutnya dipotong pendek, dan tengah mengandung enam bulan. Mas Hadi sendiri kelihatan gagah dengan jelana jins dan kaus abu-abu yang menempel ketat di tubuhnya bagaikan kulit kedua. Sayangnya wajah Mas Hadi kelihatan lelah sekali. Terlihat dari kantung matanya yang berwarna hitam.

Sambil menunggu Tanteku mengganti pakaian, aku mengobrol dengan Mas Hadi. “Semalem begadang, Mas?”
“Iya, nih Don. Kemarin ngelembur.”

FYI, Mas Hadi ini bekerja di sebuah perusahaan pemasok uang ATM. Jam kerjanya yang tidak menentu, membuat Mas Hadi sering bekerja dari pagi sampai pagi hari lagi. Semua itu dikarenakan tuntutan pekerjaan, dan pemenuhan target. Tentu semua itu dibarengi dengan uang gaji yang lebih dari cukup.

“Sebetulnya tadi udah nggak mau ikut, habisnya ngantuk...” Begitu curhatnya.
“Kalau gitu Mas istirahat saja di sini, aku temeni deh. Biar Tante sama Mbak Arina naik taxi.”
Saat itu Tanteku muncul dan bergabung di ruang tamu. Aku bercerita mengenai kondisi Mas Hadi saat itu, dan Tanteku sendiri langsung menyetujuinya. Mas Hadi yang kelihatan mengantuk berat itu lantas menyetujuinya. Karena kebetulan di rumah ini ada kamar tamu, aku mengantarnya ke lantai atas supaya Mas Hadi bisa beristirahat.

Aku jadi nggak ikut ke mall karena di rumah kelihatannya lebih menyenangkan. Hehehhehe, itu karena ada Mas Hadi. Setelah Tanteku dan Mbak Arina berangkat ke mall dengan taxi, aku dengan langkah santai ingin menengok keadaan Mas Hadi di kamar tamu. Kuketuk pintu kamar tamu beberapa kali, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Mungkin Mas Hadi sudah terlelap. Pelan-pelan kubuka pintu kamar tamu, dan benar ternyata, Mas Hadi tengah terlelap di atas tempat tidur. Celana jinsnya sudah ditanggalkan, dan dia tidur dengan celana boxer kotak-kotak yang dimataku kelihatan menggoda.

Aku menelan ludah. Pemandangan di depanku ini benar-benar sayang kalau dilewatkan. Pelan-pelan aku mendekati Mas Hadi yang terlelap di tempat tidur. Berniat ingin menyelimuti tubuhnya karena saat itu sedang germisi dan udaranya sangat dingin. Sewaktu aku merentangkan selimut untuk menutupi tubuhnya, tiba-tiba Mas Hadi terbagun. Aku terkejut dan merasa malu karena tertangkap basah.
“Ehhh, sorry, Mas!”
“Kamu mau ngapain, Don?”
“Mau kasih selimut, habis dingin.” Kataku sambil menatap sekilas ke arah kakinya yang berbulu. Duhhhh, ingin sekali aku meraba betis berbulu itu. Gerrrrrr!
“Mereka sudah berangkat?”
Aku mengangguk. “Kalau begitu aku permisi dulu, Mas mau ke kamar.”
“Jangan, Don. Temeni aku saja di sini. Kita ngobrol-ngobrol.”
“Lho, Mas kan mau istirahat. Kan kurang tidur.”
“Nggak bisa tidur ternyata.”
“Yahhhh, tahu gitu aku ikut ke mall tadi.”
“Hehehhehehe.”
Akhirnya aku duduk bersila di atas tempat tidur. Mas Hadi berbaring santai sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur.
“Gimana kuliahmu, Don?”
“Mau ujian, nih minggu depan. Sibuk belajar saja. Banyak-banyak ke perpustakaan.”
“Kamu udah punya cewek belum, sih?”
“Ehhh, belum sih Mas.” Mana mungkin gue punya cewek, orang doyannya sama cowok.
“Gimana, sih. Umur udah mau dua puluhan nggak punya cewek.”
“Nggak ada yang mau sama aku, Mas.”
“Ya, usaha, dong.”
“Gimana caranya? Dari tadi menghakimi terus. Seharusnya dikasih tahu juga solusinya!” Protesku.
“Kamu bagusin badan sedikit, jangan kurus kering kayak zombi gitu. Cewek-cewek jaman sekarang suka sama cowok yang badannya atletis.”
“Ohhh, kayak badannya Mas Hadi, dong!”
“Iya, aku sering fitnes makannya badannya bisa jadi begini. Kamu mau lihat....”


Tiba-tiba saja Mas Hadi membuka kaus abu-abunya itu.
Gleeek! Aku menelan ludah sakit terpesonanya dengan pemandangan menggiurkan di depanku. Tubuh Mas Hadi tampak kecokelatan dengan dada bidang yang sedikit ditumbuhi bulu. Puting dadanya kehitaman dengan dua puncak yang mengkerut. Aku yakin kalau lidahku bermain di sana, puncak putingnya itu pasti akan merekah tegak. Hehhehehhe. Tak luput dari pandanganku adalah perut ratanya yang tidak begitu berotot.
“Wow...” Lantas aku memuji dengan bersiul. “Badannya keren, Mas!”
“Iya, nih. Usahanya harus bener-bener kalau mau dapet badan kayak ini.”

Kemudian dengan beraninya aku menyentuh lengannya yang berotot kencang itu, meremas-remasnya dengan sengaja supaya aku bisa merasakan betapa kerasnya otot di lengannya itu. Ohhhhhh, tubuhku berdesir saat melakukan itu. Mas Hadi dipegang-pegang itu juga masih saja bersikap biasa. Dari lengan aku beralih ke dadanya yang bidang itu. Otot-otot di sana terasa padat, dan dengan sengaja, kuusapkan jempolku ke putingnya. Mas Hadi begidik, dan karena terkejut melihat rekasinya, aku akhirnya menjauhkan tanganku.

“Geli, Don!”
“Ehhhh, sorry-sorry, Mas.”
“Pentilku emang sensitif, sih. Jadi kalau diraba sedikit saja udah geli rasanya.”
“Ahhh, pasti kalau begituan sama Mbak Arina, suka diremas-remas pastinya.”
“Husssshhhh, anak kecil tahu apa, sih kamu.”
“Nah kalau aku dibilang anak kecil, kenapa tadi aku disuruh buru-buru cari cewek. Gimana, sih?!” Seruku protes.
“Hehehhehehehe!”
“Ehhh, Mas. Tapi tahu nggak kalau kebanyakan cowok berbadan atletis itu nggak suka sama cewek.”
“Maksudmu gay?”
“Iya, kebanyakan yang begituan malah suka sesama jenis.”
“Maksudmu juga aku ini gay?!”
“Ehhh, nggak, ding! Kalau nggak ngapain Mas Hadi tersinggung.”
“Eh, iya-iya, ya! Wahhh, jadi malu, nih. Tapi biar atletis aku nggak doyan laki, lho.”
“Iya aku percaya, orang Mbak Arina udah bunting begitu.”
“Hahahhahahahhahaha!” Kami berdua tertawa bersama. Kemudian hening karena tidak punya topik pembicaraan baru.
“Ehhh, Don ngomong-ngomong kalau gay itu berarti sukanya sama kontol, ya?”


Aku jadi terkejut mendengar pertanyaan Mas Hadi barusan. Aku menelan ludah, nggak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku menemukan jawaban yang tepat. “Iyalah, Mas. Kalau begituan biasanya mereka ngemut-ngemut kontol gitu. Terus kalau bersetubuh, ada yang berperan jadi cewek sama cowok. Kontolnya dimasukin ke lubang anus.”
“Ehhhh, kamu kok tahu, sih, Don!”
“HESH! Jangan curiga dulu. Kebetulan aku ada bokep campuran di handphone.”
“Ada? Boleh lihat nggak penasaran, nih.”
Aku kembali ke kamar untuk mengambil handphone. Nggak sampai semenit aku sudah kembali ke kamar tamu dan menunjukkan bokep itu ke Mas Hadi. Mas Hadi menonton dalam diam. Sewaktu adegan laki-laki dengan laki-laki diputar di handphone, alis Mas Hadi terangkat, dan sesekali cekikikan mentertawakan adegan yang sedang terjadi. Tapi setelah lewat sepuluh menit, Mas Hadi mulai kelihatan gelisah.
Aku terkejut sewaktu aku melihat Mas Hadi memasukkan tangannya ke dalam celana boxer kotak-kotaknya untuk membenarkan letak kontolnya. Jangan-jangan Mas Hadi sudah tegang. Aku menelan ludah, tak bisa mengalihkan pandangan dari tonjolan celana boxer Mas Hadi.


“WEEEEEE! Udah ngaceng, niihhh ye!” Seruku menggoda.
Mas Hadi tampak malu-malu, kemudian mengambilkan handphone itu kepadaku. “Gimana, Mas?” Tanyaku setelah memasukkan handphoneku ke dalam saku celana.
“Wahhhh, aku jadi horney, nih Don!”
“Ehhh, padahal bokepnya itu cowok sama cowok, lho Mas. Kok, bisa horney?”
“Namanya juga hubungan seks. Mau laki sama laki, cewek sama cewek, bahkan animal sex pun bisa bikin horney.”
“Wahhhh, beneran sampai ngaceng gitu.” Tunjukku ke arah tonjolan besar di balik celana boxernya. “Gede banget tuh kelihatannya. Boleh lihat nggak?”
“Buat apa? Kamu nih aneh-aneh saja.”
“Ya pengen tahu bentuknya. Entar dibandingin sama punyaku, deh.”
“Kamu duluan, deh. Nanti aku terakhir saja!”
“Wah curang!” Sebelum Mas Hadi berubah pikiran, aku turuti saja permintaanya. Aku turun dari tempat tidur dan melepaskan celana pendek yang aku kenakan. Sengaja aku nggak pakai celana dalam.
Dengan mata melotot Mas Hadi melihat ke arah selangkanganku. Kontolku saat itu sedang dalam keadaan setengah bangun. Warna batangnya berwarna putih kecokelatan, dengan kepala kontol berwarna cokelat yang menggoda. Mas Hadi kelihatan menelan ludah. “Besar juga punyamu. Lebih besar punyamu malah. Padahal itu belum tegang, ya?”


“HAH, beneran? Coba, lihat sini.”
Kemudian Mas Hadi memlorotkan boxernya. Kontolnya yang sudah tegang itu terlontar keluar setelah terbebas dari kekangannya. Kontolnya berwarna hitam dengan urat-urat menyembul dari batangnya yang berdiameter 4cm. Kepala kontolnya berwarna abu-abu kemerahan. Panjangnya sekitar 15cm. Emang sedikit pendek dari punyaku yang diameternya 4,5cm dengan panjang 18cm.
“Nggak dicukur, Mas?” Tanyaku sambil memperhatikan selangkangannya yang berbulu.
“Biasanya dua bulan sekali. Punyamu kok gundul, Don?”
“Nggak tahu, nih Mas. Udah delapan belas tapi tumbuhnya cuman di sekitar pangkal kontolnya saja. Punya temen-temenku udah sampai ke lipatan perut bawah, tapi aku masih gundul-gundul saja.”
“Hormon kamu lambat, ya?”
“Mungkin.” Kemudian hening. Tidak ada satupun dari kami yang berniat memakai celana. Kemudian aku bertanya untuk mengisi kesunyian. “Boleh pegang nggak, Mas?”
“Boleh. Pegang saja.”
Aku terkejut dan senang bukan main. Malu-malu aku mengarahkan tanganku ke kontolnya, dan menggenggam batang kontolnya dengan mantap.
“Tanganmu basah, Don!”
“Iya, nih keringatan.” Jawabku sambi mengurut-ngurut kontolnya, dan mengusap kepala kontolnya dengan ibu jari.


Mas Hadi memejamkan matanya, bibirnya bergetar, dan kemudian mendesiskan desahan. Tahu Mas Hadi menyukainya aku meneruskan saja urutanku di batang kontolnya tanpa rasa malu lagi. Dibantu tangan yang basah karena keringat urutan tanganku berubah menjadi kocokan yang terkendali.
“Enak nggak, Mas?”
Mas Hadi mengangguk. “Kebetulan aku udah lama nggak begituan sama Mbak Arina. Dia kan lagi hamil, jadi harus puasa begiutan.”
“Nah, kalau lagi pengen gimana?” Tanyaku sambil memainkan kepala kontolnya dengan cubitan-cubitan.
“Yahhh nggak diapa-apain.”
“Kasihan! Gimana kalau aku keluarin timbunan pejumu, Mas?”
“Beneran?”
Aku mengangguk yakin. “Pokoknya Mas Hadi tahunya cuman enak saja.”
“Kamu gay, ya?”
“Shuuuuuuuuuut... nggak boleh tanya-tanya.
Sekarang mau apa nggak?”
“Boleh, deh. Sampai muncrat, ya?” Pintanya sambil menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Ketiaknya yang saat itu dalam keadaan gundul menguarkan aroma parfum yang khas.


Kukocok kontolku dengan kecepatan sedang sementara Mas Hadi mendesah-desah. Beberapa saat kemudian cairan percum keluar dari lubang kencingnya. Aromanya yang khas membuatku sendiri mulai bergairah. kuratakan semua cairan itu ke batang kontol Mas Hadi, sambil tangan kiriku kugunakan untuk mengocok kontol sendiri.
“Ashhhh, ashhhhh, kocokanmu enak sekali, Don! Biasa onani, ya kamu?”
“Iya, Mas. Kalau nggak punya pacar kan biasanya main solo. Hehehhehe!”
“Ahhhh, ahhhh! Pelan-pelan, dong. Ahhhhh!”
“Aku emut, gimana Mas? Mau nggak?”
“Katanya aku tahunya cuman enaknya?”
“Eh, iya!” Aku cuman bisa nyengir sambil mendekatkan kontol itu ke bibir dan menciuminya. Mulai dari batang sampai ke kapala kontolnya yang ungu kemerahan, tak luput dari kecupan panasku.
Lidahku kemudian menyusul membasahi semua batangnya, dan tak luput kepala kontolnya kumasukkan kedalam mulut.
“Ahhh, ahhhh. Masukin semua, Don!”

Kumasukkan kontol itu sampai bagian pangkalnya. Kepala kontolnya menyentuh tenggorokanku, membuatku hampir saja tersedak. Kukenyot-kenyot kontolnya di dalam mulutku, dan kukocok kontol itu dengan bibirku naik-turun. SLURP! SLURP! SLURP!
“Ohhhh, yeahhhh. Yeahhhh! Ahhhhh!” Mas Hadi mulai meracau-racau tak terkendali. Tubuhnya seketika berkeringat.
Kumainkan lidahku di buah zakarnya yang saat itu sedang dalam keadaan menegang karena udara dingin. Rasanya kasar dan tidak kenyal. Kalau saja buah zakarnya itu dalam keadaan menggantung, pasti aku bisa memainkan dua buah sebesar anggur itu dengan lidahku.
“Ahhh, enak sekali, Don! Aku mau keluar sebentar lagi. Emut lagi, please...”


Malah kukocok kontolnya yang sudah licin itu dengan kencang, sampai menimbulkan bunyi becek-becek. Mas Hadi malah menggelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan. Otot-ototnya menegang. Sebentar lagi Mas Hadi pasti muncrat.
“Ahhhh, Ohhhh, Yeeehhhhhhhsssss, Ahhhhhhh!”
“Gimana, Mas mau muncrat, ya?”
“Iya, nih. Ahhhhhhhh! Ahhhhhh!” Kemudian kontol itu menyemburkan pejunya deras sekali. Sebagian pejunya membasahi tanganku dan sebagian lagi muncrat sampai ke dada Mas Hadi.
Mas Hadi memejamkan matanya, meresapi setiap kenikmatan yang barusan aku berikan. Bibirnya bergetar, dan mendesah-desah lirih. Kujiat pejunya yang ada di tanganku, karena kebetulan Mas Hadi nggak ngelihat. Bisa awkward kalau sampai Mas Hadi tahu aku menelan spermanya.


“Don, kalau kontolku aku masukin ke anusmu gimana rasanya?” Tanya begitu tenaganya kembali normal. Napasnya mulai teratur, dan kontolnya yang sudah kubersihkan dengan tissue itu kembali ke ukuran normalnya.
“Anus itu lebih sempit dari vagina, Mas. Jadi rasanya jayak dipijit-pijit.”
“Mas boleh coba nggak?”
“Boleh. Emang Mas udah mau masuk ronde dua?”
Mas Hadi mengangguk. “Sehari aku bisa main sampai tiga kali.”
“WOW! Nggak pakai obat kuat?”
Mas Hadi menggeleng lagi. “Ayoooo, buruan. Keburu mereka pulang!”
Aku langsung melepas kausku. Aku dan Mas Hadi sama-sama telanjang sekarang. Di luar hujan turun deras, sampai-sampai lewat jendela kamar tamu, situasi di luar nggak kelihatan pemandangannya. Segera aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur dengan merentangkan kakiku lebar-lebar seperti ayam panggang.

“Anusku dikasih pelumas dulu, Mas.”
“Pakai apa?” Tanya Mas Hadi sambil mengurut-urut kontolnya, berusaha membangunkannya.
“Pakai handbody. Tapi pakai air liur juga, bisa!” Kemudian kucontohkan saja gimana caranya. Aku membasahi tanganku dengan air liurku sendiri dan mengusap-usapkannya ke lubang anusku. Setelah bagian itu becek, kumasukkan jari tengahku ke dalamnya, dan aku langsung mendesah keenakan sementara jariku kugerakan masuk-keluar.
“Don, kamu emut lagi dong. Nggak bisa tegang, nih.”
“Oke!”


Mas Hadi berlutut di depanku, sementara aku nungging sambil menghisap kontol Mas Hadi yang belum bangun itu. Kujilat-jilat kepala kontolnya di dalam mulutku, sambil kukocok-kocok batangnya. Dalam beberapa saat kontol itu menegang sempurna.
“Ahhhhhhhhh! Ahhhhhh! Ahhhhh!”
“Buruan dimasukin, Mas.”
“Oke!”
Kemudian aku kembali ke posisi semula, rebahan sambil ngangkang. Ditekannya kepala kontolnya yang sudah basah itu ke lubang anusku. BLUUUUUUUZ! Kontol itu sepenuhnya masuk ke dalam anusku.
“Kok gampang banget, Don?”
“Udah lower.”
“Keseringan dimasukin kontol, ya?”
Aku mengangguk sambil mengusap-usap perut Mas Hadi yang seksi itu. Dengan berlahan Mas Hadi menggerakkan pantatnya, kemudian semakin cepat.
“Ahhhh, ahhhh, anusmu sempit banget, Don!”


“Sodok terus, Mas! Ahhhh! Ahhhh, enak banget. Ahhhh!” Racauku sambil meremas-remas buah pantatnya yang kencang. Akhirnya kesampaian juga meremas pantat Mas Hadi yang selama ini cuman bisa gue pandangin dari belakang.
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! Kakiku makin direntangkan lebar-lebar saat Mas Hadi menghujamkan kontolku dengan beringas. Napas kami memburu dan tubuh kami lengket oleh keringat, sampai-sampai keringat di kening Mas Hadi mentes ke tubuhku.
“Don, Mas mau keluar!” Padahal baru lima menit.
“Keluarin di dalam saja, Mas. Sekarang, Ahhhh, sdok, terus!”
“Oke!”
“OHHHH, YES! AHHHHHHHH!”
“Nggak sakit, Don! Anusmu sampai merah gitu.”
“Nggak, Mas. Ayo, Mas... Ahhhhhh! Sodok terus!”
JLOP! JLOP! JLOP! JLOP!
“Kontolmu enak banget, Mas. Ahhhhh! Ahhhhh!” Sambil mengerang keenakan kukocok kontolku. “Ahhhhhh, aku mau keluar, Mas!”
“Ahhhh, Don. Mas sebentar lagi. Ohhhh, Yes! Ahhhhh!”
“AGRHHHHH! MAS! AKU KELUAR! AHHHHHHHHHHH!” JROT JROT! Pejuku muncrat dua kali dengan semburan yang nggak terlalu kencang. Semua pejuku menggenang di selangkanganku yang gundul.

“DON! AKU KELUAR!”

Kemudian aku mencabut kontol itu dari dalam anusku dan merubah posisiku ke nungging dan memasukkan kontol Mas Hadi ke mulutku. Kugantikan dengan emutanku sambil kukocok dengan bibirku.
“OSHHHHH! OSHHHHHH! ENAK DON! AHHHHH! AKU MAU KELUAR!”
CLORP! CLORP! CLORP! Bunyi bibirku yang mengocok kontol Mas Hadi.

“AHRRHHHHRGRHRHHHHHHHH!” JROT! JROT! JROT!!!!!!! Kemudian pejunya nyembur di dalam mulutku. Rasanya hangat, sedikit amis, dan berbau khas. Aku telan semua benih suburnya itu. Mas Hadi meremas kepalaku kencang saat kenikmatan menguasai tubuhnya.
“Enak banget, pejumu, Mas.”
“Ohhhh, Don. Terima kasih. Kalau tahu kamu bisa memuaskanku, dari sejak Mbak Arin hamil dua bulan, aku mau begituan sama kamu.”
“Hehehhehehhee. Masih ada tiga bulan lagi. Kapanpun Mas Hadi pengen aku siap melayani.”
“Kamu baik hati sekali, Don! Terima kasih, ya!”
“Sama-sama, Mas.” Sambil mengusap bibirku yang basah karena air liur bercampur peju.
“Mas mau mandi dulu, ya. Boleh numpang mandi, kan?”
“Mandi bareng, yuk!”
“Oke!”


Saat mandi di bawah guyuran shower, sekali lagi aku mengocok kontol Mas Hadi dengan sabun. Dalam beberapa jam ini Mas Hadi udah muncrat tiga kali. Setelah mandi, dan badan bersih barulah Mas Hadi bisa tertidur lelap. Aku tidur di sampingnya karena merasa lelah juga. Baru sekitar pukul lima sore Tanteku dan Mbak Arina pulang membawa barang belanjaan.


Setelah tinggal untuk makan malam, Mbak Arina dan Mas Hadi pulang tepat pukul setengah tujuh. Aku mengantarkan kepulangan mereka menuju mobil yang diparkir di halaman. Kulambaikan tanganku saat Mas Hadi menggiring mobilnya melewati pintu pagar.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog